2.09.2013

Kegelisahanku

Pagi ini aku bertemu dengan seorang tetangga, dia adalah seorang perempuan yang memiliki mimpi yang mulia, mimpi untuk membangun masa depan yang lebih baik. Dia berjuang sampai ke negeri seberang untuk membahagiakan sanak saudara di kampung halaman. Dulu ketika dia berangkat, asanya meluap-luap tak terbendung.Mimpi-mimpi itu tampak nyata dan dekat, hanya selemparan batu katanya. Semangatnya hanyalah untuk membahagiakan sanak saudara di kampung halaman...

Mimpinya sederhana, mimpinya tidak setinggi anak-anak zaman sekarang, yang melulu ingin menjadi gemintang, yang ingin menjadi orang-orang sukses bergelar, yang hanya ingin gelimang emas yang menyilaukan mata, entah bagaimana caranya yang penting orang tahu mereka orang berpunya. Dengan harapan yang sederhana dia rela menyingsikan lengan baju untuk bekerja. Katanya, itu adalah semangat baginya.

Ternyata mimpi-mimpinya itu menguap bak embun tertimpa sinar matahari, kenyataan tak seindah hayalan. Ternyata,orang-orang dengan pikiran egois membuatnya tersingkir, tak didengar dan bahkan merampas hak-haknya sebagai seorang pekerja. Mimpinya direnggut, apa yang harus dia dapatkan sebagai hasil kerja keras tak dihargai dan terbayar. Sesuap nasipun tidak terhidang untuknya.
Banyak hal yang dia sesali, dia ingin pulang tapi dia ingat sanak saudara di kampung halaman, apa kata mereka nanti...pikirnya. Dia menahan deritanya, berkata pada kalbunya, tahankanlah batinnya.
Dia teringat kembali,sanak saudara di kampung halaman,,

Aku tertegun, betapa tidak berperasaannya manusia.Aku heran, seharusnya mereka merasakan pula penderitaan yang sama karena mereka juga lahir, tumbuh dan hidup di Bumi yang sama.Rupanya, nurani mereka sudah tertutup dengan lendir keegoisan dan keserakahan.Mungkin hatinya sudah lumpuh, sudah tak mampu merasa.
Hati kecilku meratap, gelisah...tapi aku pun tak berdaya. Seharusnya, sang pengayom mengerti derita mereka yang berjuang, seharusnya sang pengayom tidak hanya bergelut dengan citra yang sudah terlanjur busuk...bah! percuma, awam pun sudah tahu mukanya coreng moreng oleh dusta dan penghianatan. Kini, siapa yang sanggup mendengar suara lirih terpinggirkan? Kegelisahanku ini, rupanya akan terus bersamaku...

No comments:

Post a Comment