
Feminisme merupakan sebuah istilah plural yang mengacu pada teori dan sikap politik atau gerakan. Dalam istilah pertama, teori feminisme direlasikan dengan konsep jenis kelamin yang digunakan untuk mengatur kehidupan sosial, hal ini mengacu pada hubungan struktural antarjenis kelamin. Adapun, gerakan feminisme berhubungan dengan gerakan sosial yang mendukung terciptanya keadilan bagi kaum perempuan pada segala aspek kehidupan (Barker, 2000: 225). Dengan demikian, feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, budaya dan politik serta teori dan filosofi moral yang ditujukan untuk menentang ketidakadilan gender dan diskriminasi yang terjadi pada perempuan.
Dalam perkembangannya ketidakadilan yang menimpa perempuan melebur dalam karya sastra karena dominasi budaya patriarki pulalah produksi dan penerimaan karya sastra berada ditangan kaum pria. Kebanyakan karya sastra ditulis dan juga dikritik oleh kaum laki-laki. Dalam dunia sastra yang penuh dengan imajinasi karakter tokoh laki-laki digambarkan sebagai seseorang yang memiliki ciri-ciri kepahlawanan dan tentu saja, penggambaran perempuan sesuai pula dengan imajinasi mereka. Tokoh perempuan dapat menjadi pahlawan (heroine) apabila sesuai dengan konsep-konsep yang telah ditentukan kaum laki-laki. (Hellwig, 2008: 10-11) Helen Cixous mengungkapkan mengenai gaya penulis laki-laki (l’ecriture masculine). Gaya menulis laki-laki merupakan tulisan “phallogosentrik” (phallogocentric writing) yang mengakar pada libidonya, sehingga mengaggap perempuan sebagai mahluk yang tidak diperhitungkan. Cara berpikir yang menekankan pada maskulinitas laki-laki menimbulkan kecenderungan misogini bagi tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam tulisan tersebut (Arivia, 2003: 129). Cixous menjelaskan bahwa dalam tulisan laki-laki oposi biner banyak ditemui. Budaya patriarkhal mengasosiasikan laki-laki sebagai yang positif, aktif, tinggi dan hal-hal yang baik lainnya. Sementara perempuan berada dalam pihak yang negatif, pasif, rendah dan lain sebagainya. Sehingga menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang tak diperhatikan dan hanya menjadi yang lain (other) (Arivia, 2003:130).
Karya sastra yang pada umumnya adalah karya laki-laki menampilkan stereotype perempuan sebagai isteri dan ibu yang setia dan berbakti, perempuan manja. Pelacur dan wanita dominan. Sehingga mengkonsepsikan perempuan sesuai fantasi dan imajinasi laki-laki hal itu tentu saja tidak adil karena jauh dari itu semua perempuan juga memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan, cinta dan hal tersebut tentu saja hanya mampu diungkapkan secara tepat oleh sang empunya tubuh yaitu sang perempuan itu sendiri ( Djajanegara, 2000: 19).
Djajanegara (2000:27) menulis bahwa kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis yang ingin mengkaji karya-karya penulis perempuan di masa silam. Djajanegara menjelaskan bahwa dalam meneliti citra perempuan, kritik sastra feminis menekankan pada cara-cara mengungkapkan tekanan-tekanan yang dialami oleh tokoh perempuan dan diharapkan sang peneliti mampu mengungkapkan perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh sang tokoh perempuan dalam mengatasi tekanan-tekanan yang dialaminya.
Untuk memahami perempuan dan segala masalahnya maka kritik sastra feminis merupakan jalan yang tepat untuk dipilih .Kritik sastra ini memiliki tiga paradigma yaitu pada tahap pertama meneliti dengan kritis mengenai citra stereotipe perempuan. Hal ini menunjukkan cara pandang pengarang pria memandang dan menilai citra kaum perempuan dalam karyanya. Tahap kedua adalah menitikberatkan penelitian kepada karya-karya penulis perempuan pada masa lampau dengan kata lain meneliti dan mengevaluasi kembali penulis perempuan dan karyanya. Tahap ketiga adalah berusaha memecahkan masalah-masalah teoritis dan mempertanyakan keabsahan cara penilaian tradisional yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang didasarkan pada pandangan laki-laki. Demikianlah sekilas mengenai kritik sastra feminis dan paradigmanya (Showalter, 1985: 3-17).
No comments:
Post a Comment